CIREBON – Komisi III DPRD Kota Cirebon menerima audiensi dari Serikat Pekerja Elektrik FSPMI Cirebon Raya, di ruang rapat gedung DPRD, Kamis (6/4/2023). Pokok bahasannya menyangkut soal nasib dan hak para pekerja di sebuah perusahaan yang belum terpenuhi.
Audiensi ini dipimpin langsung oleh Anggota Komisi III DPRD Kota Cirebon, M Fahrozi dan menghadirkan pihak direksi perusahaan tersebut, Dinas Tenaga Kerja Kota Cirebon, serta Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Elektrik FSPMI Cirebon Raya.
Duduk perkara dari persoalan ini, kata Fahrozi, bermula saat perusahaan tersebut memutasikan karyawannya. Di mana para pekerja yang tadinya bekerja di wilayah Cirebon dipindahkan ke daerah Sumatera Utara.
Pihak perusahaan lantas membuat addendum dan keputusan yang dianggap memberatkan para pekerja. Oleh sebab itu, mereka melakukan audiensi dengan Komisi III untuk mengeluhkan permasalahan tersebut.
“Perusahaan itu vendor dari PLN. Akhir 2022 itu, ada SK direksi dan addendum yang mengubah pekerjaan. Jatuhnya dikurangi, terus ada yang dimutasi, karena menurut perusahaan, kinerjanya berkurang. Akhirnya dipindahkan sebanyak tadinya 200 jadi 121 orang,” kata Fahrozi usai rapat.
Para pekerja menolak keputusan tersebut. Untuk itu, sambungnya, Komisi III mendesak agar pihak perusahaan tidak memberhentikan dan segera memenuhi hak-hak pekerja. Termasuk salah satunya soal Tunjangan Hari Raya (THR).
“Hanya sepihak dari perusahaan yang mereka dianggap mengundurkan diri. Baru itu saja, bahasanya tidak resmi,” ujar Fahrozi.
Dari hasil audiensi ini, Komisi III meminta agar para pekerja kembali dipekerjakan dengan aturan yang harus disepakati antara kedua belah pihak lewat mekanisme bipartit.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Cabang FSPMI Cirebon Raya, M Machbub menerangkan, para pekerja tersebut bertugas untuk mencatat kwh meter di rumah pelanggan sekaligus menagihnya. Mereka bekerja di salah satu vendor perusahaan PLN.
Machbub menuturkan, akhir tahun 2022 lalu terjadi perubahan sistem pekerjaan yang disebut volume base atau pekerjaan berdasarkan satuan. Perubahan tersebut akhirnya berdampak kepada pekerja.
“Sistem itulah yang membuat reaksi dari pekerja karena berdasarkan satuan. Jadi kalau kawan-kawan bekerja dalam sebulan dapat 100 orang, misalkan tarifnya Rp2.000, tinggal dikalikan. Gajinya seperti itu,” katanya.
Menurutnya, penghasilan para pekerja sudah pasti di bawah UMK. Selain pendapatan terlampau kecil, mereka harus menghadapi tantangan cukup berat saat menagih kepada pelanggan. (Humas Sekretariat DPRD Kota Cirebon)